Belajar itu bisa dimana aja. Bahkan kadang, belajar
itu bisa lebih efektif ketika kita otodidak, menekuni bidang yang kita sukai atau
kasarnya diluar dari sekolah formal. Karena pada kenyataannya, sekolah formal tidak
begitu menjamin atas keberhasilan kita dalam suatu bidang. Yang ada malah
membuat kita menjadi tambah bingung, karena pelajaran yang kita pelajari
terlalu banyak. Mungkin niatnya ingin membuat kita bisa menguasai semua, tapi
hasilnya justru kita nggak dapat semuanya.
Ngomong-ngomong yang saya bahas itu adalah
pendidikannya Indonesia.
Nah ngomongin soal belajar, ini adalah pengalaman
saya ketika saya “kuliah di pantai”. Maksudnya gimana? Waktu itu saya dan
teman-teman saya memanfaatkan waktu liburan pekan sunyi ke pantai. Kami main ke
pantai nggak cuma datang, basah-basahan, tulis-tulis nama di pasir (kayak anak
labil), terus pulang. Enggak. Tapi kami nginap semalaman disana.
Jomblo-jomblo bahagia
Awalnya saya kira ini cuma jalan-jalan biasa. Tapi
setelah saya lihat-lihat lagi, ternyata saya sudah seperti kuliah, hanya saja
ini langsung praktek di dunia nyata.
Dan lebih dari itu, kuliah kali ini, rasanya campur
aduk. Ada senang, ada capek, ada jengkel, macam-macam rasanya. Beda banget
dengan kuliah sebenarnya. Apalagi ketika kuliah sama dosen yang nggak mau
repot, dosen yang males, kuliah rasanya gitu-gitu aja. Flat!
Datang ke kelas, terus mendengarkan presentasi
teman yang sebenarnya mereka nggak ngerti-ngerti juga. Ya wajar, kami memang
nggak bisa lagsung nguasai materi yang masih asing buat kami. Terus kami
dipaksa untuk memperhatikan. Setelah presentasi, kami di tuntut untuk bertanya.
Kami harus bertanya agar dapat nilai keaktifan.
Jujur aja, sebagian besar dari penanya itu ya
terpaksa bahkan rela memutar otak buat bisa dapat pertanyaan, itu cuma karena
ngejar nilai. Kadang saya juga terpaksa bertanya. Daripada di singgung-singgung
sama dosennya karena nggak pernah nanya.
Perkuliahan belum selesai sampai disitu. Setelah
perkuliahan selesai, kami juga di beri oleh-oleh berupa tugas. Kadang, sanking
banyaknya tugas sampai bingung mau ngerjakan tugas yang mana dulu. Ini masih
satu mata kuliah, masih ada mata kuliah lain yang nuntut hal yang sama.
Kalau lagi kena sial, bisa aja di hari itu secara
bersamaan kita harus ngumpulkan tugas, quis (ujian), dan juga kita dapat jatah
presentasi yang tentunya kita harus nguasai materi, baca-baca literature,
googling-googling internet. Bisa di bayangin, gimana malam harinya? Hahaha..
Pernah juga teman saya sampai bolos kuliah. Padahal
menurut saya dia orangnya rajin banget, catatannya pun lengkap. Setelah saya tanya
ke dia,
“hay temanku, apa yang membuatmu sampai tidak kuliah
hari ini?”
*Hahaha. Nggak gitu juga kali nanyanya.
Ternyata dia bilang sengaja bolos, karena ngerjakan
tugas yang lain. Jadi benar-benar sampai kurang waktu gitu. Emejing!
Nah, padahal antara kuliah/ sekolah dengan
kehidupan yang sebenarnya nanti, akan jauh berbeda. Setelah kita lepas dari
dunia sekolah itu, kita akan dihadapkan dengan kehidupan yang sesungguhnya. Semisal,
bagaimana cara kita mempertahankan hidup, bagaimana kita berinteraksi dengan
oranglain, bagaimana kita melawan keterbatasan keadaan kita.
Seandainya aja disekolah/ diperkuliahan diajarkan
seperti ini (tentunya di Indonesia ya), pasti akan memberikan warna baru.
Karena setelah lepas dari sekolah, teori-teori yang sudah kita makan
bertahun-tahun itu, pasti akan tutup mulut. Akan minder. Nggak berani keluar,
karena teori itu sudah nggak di puja-puja lagi seperti saat kita masih di dunia
sekolah, yang tiap hari dibaca, dibahas, dipresentasikan, dijadikan tugas, dijadikan
ujian.
***
Dengan adanya rutinitas yang monoton tersebut, maka
seharusnya kita berbuat sesuatu. Seperti yang saya dan teman-teman saya lakukan
ketika kuliah di pantai. Apa yang saya dapatkan?
1. Kita bisa melihat
teman. Yang mana benar-benar teman dan yang mana teman nggak tau diri (Egois)
Saya pernah mendengar istilah “jika kamu
ingin mengetahui siapa temanmu, ajaklah dia naik gunung.” Menurut saya istilah
ini masih kurang. Yang bener itu “jika kamu ingin mengetahui siapa temanmu,
ajaklah dia naik gunung. Terus ke pantai juga coy.”
2. Ada orang yang
rela berkorban demi orang lain
Teman yang seperti ini, sudah
jelas-jelas punya jiwa kepedulian yang tinggi. Ia rela berkorban demi orang
lain dengan takaran yang masih logis. Ia pun juga sudah memangkas keegoisannya.
“Sudah
bukan hal yang mengagetkan lagi bahwa dunia ini bisa hancur ketika orang-orang
egois yang menguasai dunia.”
3. Belajar untuk
membuang sikap manja
Di pantai itu gelap, sunyi nggak ada
suara orang. Yang ada hanya suara ombak yang bergemuruh. Untungnya Kami masih
selamat, karena masih pegang uang dan masih bisa beli makanan dan minuman di
warung klontong yang jaraknya 3 km dari tenda. Kalau seandainya uang nggak ada
atau mungkin malas beli makanan karena jauh. Bisa aja kita mati karena sikap
manja kita sendiri.
Di dunia nyata pun juga seperti itu,
kalau kita terbiasa hidup dengan segala macam fasilitas, lalu kemudian suatu
hari Tuhan menguji kita dengan kekurangan sedangkan kita masih punya sikap
manja. Kita bisa kaget. Stress. Belum siap menghadapi ujian tersebut. Lagi-lagi
karena manja.
4. Menerima segala
macam kekurangan dan keterbatasan, membuat kita pandai bersikap
Ketika di pantai, bau-bau kota itu nggak
ada sama sekali. Semuanya serba keterbatasan. Mau minum nggak seenteng
biasanya. Semuanya harus di irit-irit karena mau makanan ataupun minuman,
semuanya terbatas. Harus di sisakan untuk keesokannya.
Dengan merasakan hal sepele ini, kita
bisa memahami keadaan orang-orang yang hidupnya masih jauh kurang beruntung
daripada kita. Makanya Tuhan menyuruh kita bersyukur atas apapun yang kita
miliki.
5. Dalam hidup kita
harus memilih apakah menjadi solusi atau masalah (beban)
Kita manusia adalah makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan berinteraksi dan tentunya saling
membutuhkan. Celakanya, setiap orang itu pasti selalu dihadapkan dengan sebuah
pilihan. Memilih menjadikan dirinya solusi untuk orang lain, atau malah menjadi
masalah (beban) terhadap orang lain.
6. Kebersamaan
Dengan
segala macam kekurangan dari masing-masing diri. Tetap, kebersamaan mengajarkan
kita tentang suka cita.
7. Lebih menyadari
lagi bahwa Tuhan itu sangat baik kepada manusia
Disaat kita sedang senang, seringkali
kita melupakan Tuhan. Seperti ketika saya nginap di pantai ini, hanya beberapa
orang saja yang masih menjalankan shalat 5 waktu. Padahal Tuhan sudah baik
sekali. Mengizinkan kami menikmati keindahan alam, merasakan sejuknya udara
malam, memberi oksigen dengan cuma-cuma, menjauhkan kami dari binatang-binatang
yang mungkin berbahaya, memberikan kesehatan, keselamatan.
Sejatinya manusia memang mudah sekali
melupakan Tuhan di saat senang. Engkau baik sekali Tuhan. Jika seandainya
Engkau marah dan Engkau mengusir kami semua ini dari bumiMu, maka kami harus
mencari bumi mana lagi yang bisa kami tempati?
Alhamdulillah masih bisa sarapan dengan nikmat
“Pendidikan itu tetap penting, tetapi lebih penting lagi kalau kita bisa keluar dari ritinitas yang tidak menjadikan kita manusia sesungguhnya.”
“Pendidikan itu tetap penting, tetapi lebih penting lagi kalau kita bisa keluar dari ritinitas yang tidak menjadikan kita manusia sesungguhnya.”
pante mana itu ehhh???
BalasHapusyang gw palin inget cuma satu di tulisan lo tur :D "TULIS-TULIS NAMA DI PASIR KAYAK ANAK LABIL"
Pantai Clungup sher.
Hapusiya, semoga lu segera tobat ya gak nulis-nulis nama lagi di pasir haha
Amazing banget teman kamu itu, Thur. Saking ngerasa waktunya kurang gitu ya buat ngerjain tugas. Ckckckck.
BalasHapusCiyeeee. Pelajaran yang didapatnya pad asoy-asoy. Apalagi yang nomor 5. Walaupun udah belajar teorinya, udah tau, tapi nggak semuanya dari kita mau mempraktekannya ke dunia nyata. Aku sendiri pun, kalau udah dapat kesenangan, jauh bedanya daripada pas dapat musibah. Aku mikir kalau aku selama ini berdoa karena ada maunya aj. Ya Allah, hambamu ini nista :(
yooman. emang kadang suka gitu kalo udah numpuk-numpuknya oleh2 berupa tugas cha. haha
Hapusitu ibarat kyak ada temen datang ke kita pas ada butuhnya doang, pasti kita gak suka kan? nah gitu juga Tuhan :)
Sukaaaaaa banget quotesnya Fathur <3<3
BalasHapushehe.. Thanks Wid (y)
HapusEmang bener kalau dipikir-pikir setiap kegiatan yang kita jalani ada hikmahnya, pelajaran yang bisa diambil.
BalasHapusAku suka kalimat ini "Ada orang yang rela berkorban demi orang lain".
iya.. apapun yang kita jalani pasti selalu memberikan pelajaran yang berarti..
HapusThanks Reni sudah berkunjung ^^
Di sini metodenya memang kebanyakan masi teori si ya tur jarang praktek..jadi kayak kejadian temenmu itu, sampe kurang waktu hanya tuk ngerjain tugas
BalasHapusSesekali kudunya ada materi ke lapangan sih, survey liat apa yang sebenernya bakal di hadapi...ya jadi ngebuka wawasan kita ga melulu soal tugas di atas kertas
Btwnguji karakter temen dari gunung menuju pante, gempir dong hahahha
Eh diantara ber5, fatur sing baju merah ya,?
iya mbak, seharusnya ada metode yg lebih baru lagi. nggak bisa selamanya metode lama dipake.. kalo menurutku, metodenya seharusnya nyesuaikan sama generasi melinea.
Hapusiya, aku yg baju merah mbak. yang beda dewe pokok'e hehe
lebih penting lagi kalau kita bisa keluar dari ritinitas yang tidak menjadikan kita manusia sesungguhnya... :) setuju bang!
BalasHapusokay.. terima kasih sudah berkunjung ^^
Hapus