Saya teringat kembali ketika saya menempuh mata
kuliah komunikasi bisnis. Beruntung saya dapat dosen yang tepat. Seorang dosen
yang menjunjung tinggi etika, kedisiplinan, dan juga sangat perfectionist.
Mengapa saya katakan beliau tepat mengajar mata
kuliah ini? Itu karena menurut saya, untuk mata kuliah seperti ini, harus di
ajar oleh seorang dosen yang berkompeten. Saya merasa beruntung, di ajar oleh
bu Sarah, karena untuk dosen lain yang mengajar mata kuliah ini, merupakan
tipe-tipe dosen yang malas. Yang menurut saya nggak pantas sama sekali jadi
dosen.
Soalnya, untuk Komunikasi bisnis, ini tidak hanya sekedar teori, presentasi, dan tugas. Tetapi harus ada pembekalan teknik-teknik dalam berkomunikasi, adanya pemantauan selama satu semester terhadap gaya dan cara bicara kita, membangun rasa percaya diri, memperkuat mental, dan lain-lain.
Nah, yang bisa menerapkan itu hanyalah dosen-dosen
yang mengerti tujuan dari mata kuliah yang diajarkannya. Dosen-dosen pemalas,
nggak akan mau mengajar seribet itu. Belum lagi dosen yang pemalas, kemudian
pelit nilai. Sungguh do’a kami di dengar oleh Tuhan.
Untuk dosen-dosen pemalas yang pelit nilai, tiga
kata buat kalian. “Akhirat butuh dosen”
****
Kembali lagi ke masalah komunikasi bisnis. Saat
itu, kami membahas tentang “Mendengarkan merupakan sebuah keahlian dalam
berkomunikasi.”
Bu Sarah, menunjuk satu per satu mahasiswanya,
menyuruh menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut. Walaupun suasana tegang
dan penuh rasa was-was, tapi kami semua bisa menjawabnya.
Saya deskripsikan. Setiap Bu Sarah ini ngajar,
suasana kelas seperti gedung Aula yang luas namun kosong, yang tedengar cuma
suara sepatu pantopelnya aja. Tegang dan sunyi. Berani ribut sendiri di kelas
beliau, siap-siap di datangi kemudian di hajar dengan segudang pertanyaan lalu
dapat omelan dengan suaranya yang kadang melengking. Atau kalau kita tidak bisa
menjawab pertanyaannya, kemudian kita ketahuan nggak belajar tadi malam,
siap-siap suara sangkakala pecah di kuping.
saya sampai hapal irama langkahnya
Sebenarnya semua itu nggak masalah. Hanya saja,
rasa malunya itu lo yang luar biasa kalau sudah di omeli di hadapan teman-teman
sekelas. Btw, kalau sama Bu Sarah, bangku kelas di atur menjadi bentuk oval dan
beliau berada di tengah dengan leluasa keliling mendatangi kami satu persatu.
Jangan pernah berharap bisa ngantuk di kelas seperti ini. Soalnya jantung
berdebar-debar terus selama 2,5 jam. Bayangin!
Setelah kami mengutarakan maksud dari pernyataan
tersebut, beliau mengatakan bahwa orang-orang selama ini banyak yang hanya
berfokus pada bagaimana cara meningkatkan skill berbicaranya di depan publik,
atau kasarnya Cuma mengerti bagaimana ngomong. Ngomongnya bagus, keren. Tapi
belum tentu skill mendengarkannya juga bagus. Karena, mendengarkan itu ternyata
tidak mudah.
Kita ambil contoh seperti orang yang suka nggak
nyambung kalau semisal kita bertanya, tetapi jawabannya nggak ‘kena’ dengan apa
yang kita tanyakan. Semisal kita bertanya tentang hukum komersial, tetapi dia
menjelaskan tentang marketing.
Atau mungkin kita bertanya, “kapan kamu dapat cuti
lagi” tapi dia menjawab “aku gak lagi liburan sebanyak ini. Mending uangnya aku
pake buat nyicil mobil. ”
Terjawab nggak pertanyaannya? Enggak sama sekali
kan?
Saya yakin tidak hanya saya saja yang sering
mengalami hal tersebut. Pasti diantara teman-teman kalian juga ada yang seperti
itu. Atau mungkin diri kalian sendiri? hehe
Kalau saya biasanya, saya tegasin kembali. “woy,
aku nanyanya kapan kamu dapat cuti lagi? jawabannya itu ya besok kek, bulan
depan kek, atau tahun depan kek. Aku gak nanya masalah kamu liburan atau nyicil
mobil itu.”
Jadi siapapun orang yang suka nggak nyambung dengan
pertanyaan saya, ya saya kerasin dikit. Hehe.
Hal itu terjadi, karena bisanya kemampuan
mendengarkannya kurang. Bukan berarti tuli. Hanya saja, kurang menyimak dengan
baik pertanyaan tersebut.
Bu Sarah juga mengatakan, “kalau anda ingin di
dengar, maka dengarlah orang lain. Kalau anda ingin menjadi pembicara yang
baik, maka jadilah terlebih dahulu pendengar yang baik.” Saya masih ingat
sekali dengan suara dan ekspresi Bu Sarah ketika mengatakan ini.
Siapapun pasti senang, siapapun pasti nyaman ketika
kita berbicara, kita di dengar, di perhatikan, di simak dan di respon dengan
baik. Tapi nyatanya, kita tidak bisa mengatur permasalahan ini. Karena
ternyata, tidak semua orang punya kemampuan mendengar dengan baik.
Saya punya seorang teman, salah satu sifat buruknya
adalah dia resek banget. Mungkin kalau ada perlombaan resek-resekan tingkat
internasional, saya yakin pasti dia lolos minimal sampai semi final. Demi
Allah, reseknya minta ampun.
Kalau ngomong sama dia, kita harus emosi dulu. Atau
minimal sampai mood kita rusak dulu, baru dia serius juga nanggapin pembicaraan
kita. Saya kasih contoh,
“eh Yog entar habis ini anak-anak jadi nggak sih
bakar-bakar ikan?” Tanya saya.
“Ha?”
“Anak-anak itu loh, jadi nggak bakar-bakar ikan?”
jawab saya
“siapa?”
“Anak-anak.” jawab saya lagi.
“Kenapa?”
“Bakar-bakar ikan” jawab saya yang udah mulai
emosi.
“Apanya?”
“Nggak jadi.” Udah terlanjur emosi.
“okey.” Jawab dia dengan ekspresi seolah nggak
punya salah.
1 menit kemudian..
“kenapa tadi thur?”
“nggakpapa” jawab saya
“serius e serius”
“Aku daritadi serius kali. Emang kamunya aja yang
brengsek. Coba kamu bedakan kapan serius kapan becanda.” Saya masih emosi, tapi
dengan nada bicara santai. Bukan marah-marah.
“hahahaha.. kau baru tau kah? Aku kan orangnya
resek.”
Tuh kan. Dia malah bangga kalau dirinya resek. Saya
sampai emosi. Karena, itu bukan kejadian yang pertama. Tapi sudah berkali-kali
dan sering. Selain saya, teman-teman saya yang lain juga sering dia buat kesal.
Atau kadang, di saat kita lagi membahas masalah
gadget baru atau soal teknologi. Pasti dia nyahut dengan jawaban yang
seolah-olah teknologi baru tersebut jelek di bandingkan apa yang dia punya.
Intinya nggak nyambung jawabannya. Setiap dia jawab, pasti kami seketika
langsung diam. Jadi males lanjutin obrolannya.
Kadang-kadang juga, ketika kita lagi bicara, dia
suka motong-motong pembicaraan dengan kicauan-kicauan resek. Ini jelas-jelas
bukan pendengar yang baik.
Terkadang dia suka menyombongkan diri. Saya maklum.
Karena keluarganya baru jadi orang kaya dalam 7 tahun terakhir ini. Ya Saya
anggap udik aja sih. hehe
Kalau kalian bilang. “temen kayak gitu harus di
jauhin thur. Atau paling enggak, kamu harus ngingetin dia”
Masalah ngingatin atau negur, sudah pernah saya
lakuin. Saya bilang secara langsung ke dia. Saya kasih tau juga banyak yang
nggak suka karena dia suka sombong, resek. Mungkin saya di dengarkan, tapi yang
merubah sifatnya bukan saya, tapi dirinya sendiri. Saya cuma bisa negur aja.
Terus saya harus jauhin? Nggak bisa. Walaupun dia
reseknya ampun-ampunan, tapi dia juga kadang baik. Karena baiknya dia itu yang
kadang-kadang bikin saya mikir, yang kadang-kadang bikin saya dan teman-teman
yang lain tertahan untuk menjauhi.
Saya punya satu harapan, semoga aja ada orang lain
yang nempeleng dia. Biar bisa jadi pelajaran hidup. Hahaha
***
Kita harus menyeimbangkan, antara bicara dan
mendengarkan. Dalam hal komunikasi ini, kita di tuntut untuk lebih peka lagi
terhadap lawan bicara. Kalau dalam dunia
bisnis, apabila salah sedikit saja masalah komunikasi ini, bisa jadi negosiasi
yang sedang dilakukan, gagal. Atau nggak sesuai dengan ekspektasi.
Aduh, napa jadi bawa-bawa materi kuliah sih.
Maafkan. Hehe.
Apa sih yang membuat orang lain nyaman dengan kita?
Apa sih yang membuat orang lain merasa lebih dihargai? Yap. Mendengarkan apa
yang mereka bicarakan. Mendengarkan ceritanya. Mendengarkan keluhannya.
Jangan sampai ketika kita berbicara, kita selalu
menceritakan. Aku aku dan aku. Tanpa bertanya kembali. “kalo kamu gimana?”
Kita juga harus memberi kesempatan kepada orang
lain untuk berbicara. Itu berarti waktunya kita untuk mendengarkan.
Ini penting sekali untuk menjaga keharmonisan
sesama teman, kepada pasangan, atau kepada anak. Keegoisan diri yang paling
sering menjadi faktor utama, kenapa kita sulit mendengarkan daripada berbicara.
Seringnya kita lebih senang “ngomong” daripada “ngedengerin”
Karena pada dasarnya, mendengarkan itu sebuah
keahlian. Keahlian terbentuk dari pengualangan-pengulangan yang kita lakukan. Jadi,
gimana caranya supaya jadi pendengar yang baik?
Kita cukup mendengarkan dengan cara berpikir
kebalikan. Semisal, kalau saya bicara saya ingin di dengarkan. Saya ingin di
respon dengan baik. Saya nggak mau di respon dengan lebay. Nah kalau diri kita
maunya seperti itu, berarti kita juga harus mendengarkan lawan bicara kita,
kita juga harus merespon dengan baik. Terus meresponnya nggak pake lebay.
Cukup dengan berpikir kebalikan, saya yakin kita
pasti akan bisa menjadi pendengar yang baik. Lakukan itu berulang-ulang saat
kita berinteraksi. Karena dengan pengulangan itu, lama kelamaan akan menjadi
kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, pasti akan jadi keahlian. :)
Suka gengges sendiri ya kalau ada guru/dosen yang merasa so di butuhin atau suka ada yang pelit banget sama nilai. Duh pengen gue coret-coret tuh mukanya pake pulpen wkwk
BalasHapusaku punya 3 warna pulpen nih. merah, biru, itam. kamu tinggal pilih mau yang mana wid. haha
HapusWah. Keren nih tema postingannya. Semoga orang-orang yang maunya cuma ngomong tapi nggak mau dengerin orang ngomong, jadi tersadarkan ya.
BalasHapusBerpikir kebalikan. Iya bener banget, aku setuju. Aku suka dengerin orang cerita. Dan aku juga suka bercerita. Tapi giliran kalau orangnya selalu nyombongin diri, atau ngerasa paling sengsara sendiri, aku jadi males. Trus sama orang yang kayak temen kamu, aku juga males sih. Cuma males aja, nggak bisa jauhin. Iya sama deh kayak kamu, Thur. Hahaha.
Thanks cha. Semoga yah banyak yang tersadarkan. Intinya jangan egois, tapi berpikir kebalikan :)
HapusWah iya nih mas saya bahkan sering melihat dan negobrol langsung dengan orang yang susah mendengarkan apa yang diomongin saya, wah kalau di gituin rasanya tuh sakit pengen jitak kepalanya sih sebenarnya tapi saya selalu nahan.
BalasHapusYang penting kita jangan sampai seperti itu sama orang lain :)
HapusTerima kasih Nurul sudah berkunjung ^^