Sabtu, 16 April 2016

Kuliah di Pantai


Belajar itu bisa dimana aja. Bahkan kadang, belajar itu bisa lebih efektif ketika kita otodidak, menekuni bidang yang kita sukai atau kasarnya diluar dari sekolah formal. Karena pada kenyataannya, sekolah formal tidak begitu menjamin atas keberhasilan kita dalam suatu bidang. Yang ada malah membuat kita menjadi tambah bingung, karena pelajaran yang kita pelajari terlalu banyak. Mungkin niatnya ingin membuat kita bisa menguasai semua, tapi hasilnya justru kita nggak dapat semuanya.

Ngomong-ngomong yang saya bahas itu adalah pendidikannya Indonesia.

Nah ngomongin soal belajar, ini adalah pengalaman saya ketika saya “kuliah di pantai”. Maksudnya gimana? Waktu itu saya dan teman-teman saya memanfaatkan waktu liburan pekan sunyi ke pantai. Kami main ke pantai nggak cuma datang, basah-basahan, tulis-tulis nama di pasir (kayak anak labil), terus pulang. Enggak. Tapi kami nginap semalaman disana.

Jomblo-jomblo bahagia

Awalnya saya kira ini cuma jalan-jalan biasa. Tapi setelah saya lihat-lihat lagi, ternyata saya sudah seperti kuliah, hanya saja ini langsung praktek di dunia nyata.

Dan lebih dari itu, kuliah kali ini, rasanya campur aduk. Ada senang, ada capek, ada jengkel, macam-macam rasanya. Beda banget dengan kuliah sebenarnya. Apalagi ketika kuliah sama dosen yang nggak mau repot, dosen yang males, kuliah rasanya gitu-gitu aja. Flat!

Datang ke kelas, terus mendengarkan presentasi teman yang sebenarnya mereka nggak ngerti-ngerti juga. Ya wajar, kami memang nggak bisa lagsung nguasai materi yang masih asing buat kami. Terus kami dipaksa untuk memperhatikan. Setelah presentasi, kami di tuntut untuk bertanya. Kami harus bertanya agar dapat nilai keaktifan.

Jujur aja, sebagian besar dari penanya itu ya terpaksa bahkan rela memutar otak buat bisa dapat pertanyaan, itu cuma karena ngejar nilai. Kadang saya juga terpaksa bertanya. Daripada di singgung-singgung sama dosennya karena nggak pernah nanya.

Perkuliahan belum selesai sampai disitu. Setelah perkuliahan selesai, kami juga di beri oleh-oleh berupa tugas. Kadang, sanking banyaknya tugas sampai bingung mau ngerjakan tugas yang mana dulu. Ini masih satu mata kuliah, masih ada mata kuliah lain yang nuntut hal yang sama.

Kalau lagi kena sial, bisa aja di hari itu secara bersamaan kita harus ngumpulkan tugas, quis (ujian), dan juga kita dapat jatah presentasi yang tentunya kita harus nguasai materi, baca-baca literature, googling-googling internet. Bisa di bayangin, gimana malam harinya? Hahaha..

Pernah juga teman saya sampai bolos kuliah. Padahal menurut saya dia orangnya rajin banget, catatannya pun lengkap. Setelah saya tanya ke dia,

“hay temanku, apa yang membuatmu sampai tidak kuliah hari ini?”

*Hahaha. Nggak gitu juga kali nanyanya.
Ternyata dia bilang sengaja bolos, karena ngerjakan tugas yang lain. Jadi benar-benar sampai kurang waktu gitu. Emejing!

Nah, padahal antara kuliah/ sekolah dengan kehidupan yang sebenarnya nanti, akan jauh berbeda. Setelah kita lepas dari dunia sekolah itu, kita akan dihadapkan dengan kehidupan yang sesungguhnya. Semisal, bagaimana cara kita mempertahankan hidup, bagaimana kita berinteraksi dengan oranglain, bagaimana kita melawan keterbatasan keadaan kita.

Seandainya aja disekolah/ diperkuliahan diajarkan seperti ini (tentunya di Indonesia ya), pasti akan memberikan warna baru. Karena setelah lepas dari sekolah, teori-teori yang sudah kita makan bertahun-tahun itu, pasti akan tutup mulut. Akan minder. Nggak berani keluar, karena teori itu sudah nggak di puja-puja lagi seperti saat kita masih di dunia sekolah, yang tiap hari dibaca, dibahas, dipresentasikan, dijadikan tugas, dijadikan ujian.

***


Dengan adanya rutinitas yang monoton tersebut, maka seharusnya kita berbuat sesuatu. Seperti yang saya dan teman-teman saya lakukan ketika kuliah di pantai. Apa yang saya dapatkan?

1.  Kita bisa melihat teman. Yang mana benar-benar teman dan yang mana teman nggak tau diri (Egois)

Saya pernah mendengar istilah “jika kamu ingin mengetahui siapa temanmu, ajaklah dia naik gunung.” Menurut saya istilah ini masih kurang. Yang bener itu “jika kamu ingin mengetahui siapa temanmu, ajaklah dia naik gunung. Terus ke pantai juga coy.”


2.  Ada orang yang rela berkorban demi orang lain

Teman yang seperti ini, sudah jelas-jelas punya jiwa kepedulian yang tinggi. Ia rela berkorban demi orang lain dengan takaran yang masih logis. Ia pun juga sudah memangkas keegoisannya.

“Sudah bukan hal yang mengagetkan lagi bahwa dunia ini bisa hancur ketika orang-orang egois yang menguasai dunia.”


3.  Belajar untuk membuang sikap manja

Di pantai itu gelap, sunyi nggak ada suara orang. Yang ada hanya suara ombak yang bergemuruh. Untungnya Kami masih selamat, karena masih pegang uang dan masih bisa beli makanan dan minuman di warung klontong yang jaraknya 3 km dari tenda. Kalau seandainya uang nggak ada atau mungkin malas beli makanan karena jauh. Bisa aja kita mati karena sikap manja kita sendiri.

Di dunia nyata pun juga seperti itu, kalau kita terbiasa hidup dengan segala macam fasilitas, lalu kemudian suatu hari Tuhan menguji kita dengan kekurangan sedangkan kita masih punya sikap manja. Kita bisa kaget. Stress. Belum siap menghadapi ujian tersebut. Lagi-lagi karena manja.


4.  Menerima segala macam kekurangan dan keterbatasan, membuat kita pandai bersikap

Ketika di pantai, bau-bau kota itu nggak ada sama sekali. Semuanya serba keterbatasan. Mau minum nggak seenteng biasanya. Semuanya harus di irit-irit karena mau makanan ataupun minuman, semuanya terbatas. Harus di sisakan untuk keesokannya.

Dengan merasakan hal sepele ini, kita bisa memahami keadaan orang-orang yang hidupnya masih jauh kurang beruntung daripada kita. Makanya Tuhan menyuruh kita bersyukur atas apapun yang kita miliki.


5. Dalam hidup kita harus memilih apakah menjadi solusi atau masalah (beban)

Kita manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti akan berinteraksi dan tentunya saling membutuhkan. Celakanya, setiap orang itu pasti selalu dihadapkan dengan sebuah pilihan. Memilih menjadikan dirinya solusi untuk orang lain, atau malah menjadi masalah (beban) terhadap orang lain.


6.  Kebersamaan

Dengan segala macam kekurangan dari masing-masing diri. Tetap, kebersamaan mengajarkan kita tentang suka cita.


7. Lebih menyadari lagi bahwa Tuhan itu sangat baik kepada manusia

Disaat kita sedang senang, seringkali kita melupakan Tuhan. Seperti ketika saya nginap di pantai ini, hanya beberapa orang saja yang masih menjalankan shalat 5 waktu. Padahal Tuhan sudah baik sekali. Mengizinkan kami menikmati keindahan alam, merasakan sejuknya udara malam, memberi oksigen dengan cuma-cuma, menjauhkan kami dari binatang-binatang yang mungkin berbahaya, memberikan kesehatan, keselamatan.

Sejatinya manusia memang mudah sekali melupakan Tuhan di saat senang. Engkau baik sekali Tuhan. Jika seandainya Engkau marah dan Engkau mengusir kami semua ini dari bumiMu, maka kami harus mencari bumi mana lagi yang bisa kami tempati?

Alhamdulillah masih bisa sarapan dengan nikmat


“Pendidikan itu tetap penting, tetapi lebih penting lagi kalau kita bisa keluar dari ritinitas yang tidak menjadikan kita manusia sesungguhnya.”

12 komentar:

  1. pante mana itu ehhh???

    yang gw palin inget cuma satu di tulisan lo tur :D "TULIS-TULIS NAMA DI PASIR KAYAK ANAK LABIL"

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pantai Clungup sher.

      iya, semoga lu segera tobat ya gak nulis-nulis nama lagi di pasir haha

      Hapus
  2. Amazing banget teman kamu itu, Thur. Saking ngerasa waktunya kurang gitu ya buat ngerjain tugas. Ckckckck.

    Ciyeeee. Pelajaran yang didapatnya pad asoy-asoy. Apalagi yang nomor 5. Walaupun udah belajar teorinya, udah tau, tapi nggak semuanya dari kita mau mempraktekannya ke dunia nyata. Aku sendiri pun, kalau udah dapat kesenangan, jauh bedanya daripada pas dapat musibah. Aku mikir kalau aku selama ini berdoa karena ada maunya aj. Ya Allah, hambamu ini nista :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. yooman. emang kadang suka gitu kalo udah numpuk-numpuknya oleh2 berupa tugas cha. haha

      itu ibarat kyak ada temen datang ke kita pas ada butuhnya doang, pasti kita gak suka kan? nah gitu juga Tuhan :)

      Hapus
  3. Sukaaaaaa banget quotesnya Fathur <3<3

    BalasHapus
  4. Emang bener kalau dipikir-pikir setiap kegiatan yang kita jalani ada hikmahnya, pelajaran yang bisa diambil.

    Aku suka kalimat ini "Ada orang yang rela berkorban demi orang lain".

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya.. apapun yang kita jalani pasti selalu memberikan pelajaran yang berarti..

      Thanks Reni sudah berkunjung ^^

      Hapus
  5. Di sini metodenya memang kebanyakan masi teori si ya tur jarang praktek..jadi kayak kejadian temenmu itu, sampe kurang waktu hanya tuk ngerjain tugas
    Sesekali kudunya ada materi ke lapangan sih, survey liat apa yang sebenernya bakal di hadapi...ya jadi ngebuka wawasan kita ga melulu soal tugas di atas kertas
    Btwnguji karakter temen dari gunung menuju pante, gempir dong hahahha
    Eh diantara ber5, fatur sing baju merah ya,?

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak, seharusnya ada metode yg lebih baru lagi. nggak bisa selamanya metode lama dipake.. kalo menurutku, metodenya seharusnya nyesuaikan sama generasi melinea.

      iya, aku yg baju merah mbak. yang beda dewe pokok'e hehe

      Hapus
  6. lebih penting lagi kalau kita bisa keluar dari ritinitas yang tidak menjadikan kita manusia sesungguhnya... :) setuju bang!

    BalasHapus

Terimakasih sudah membaca. Tolong tinggalkan komentarnya. Karena dengan komentar kalian, blog ini akan semakin bernyawa hehe. Salam, untuk para blogger se-Indonesia. Dari Malang (@akhi_fathur)