Suatu ketika saat saya masih duduk dikelas 3 SMP
beberapa tahun yang lalu, ada moment yang masih saya ingat jelas sampai hari
ini. Hari itu saya berpikir untuk berlaku curang. Niat ini sudah saya rancang
dari malam-malam sebelumnya.
Saya sudah tahu bahwa hari x akan ada ulangan
harian. Namun jauh-jauh hari saya sudah meniatkan untuk curang dengan membuat
contekan. Semua tahu bahwa guru yang satu ini punya “mata saringgan”. Satu
sekolah sih bilang begitu. Saya percaya nggak percaya.
Malam harinya teman-teman saya yang lain sibuk
belajar untuk besok. Saya juga sibuk buat contekan untuk besok. Kederangan sama
tapi beda. Malam itu saya sudah merasa bahwa esok sayalah yang paling juara
dikelas.
Menjelang jam 11 pagi, teman-teman saya satu kelas
semakin sibuk baca buku. Sibuk. Sibuk sekali. Sunyi. Nggak ada yang ribut.
Semua belajar. Cuma saya aja yang nggak buka buku seolah sang jawara sambil
senyum-senyum kemenangan.
Saya sama sekali nggak ada baca-baca buku seperti
yang lainnya. Saya justru ganggu teman-teman saya yang lagi belajar. “sudahlah
nggak usah belajar”. Saya bilang begitu.
Ulangan dimulai. Guru saya menyebutkan soal demi
soal. Dan setiap soal yang dibacakan saya senyum-senyum “vegeta”. Merdeka. Hati
saya merdeka. Semua soal itu jawabannya ada dicontekan saya.
Nomor satu selesai. Nomor dua selesai. Keadaan
masih aja aman. Saya melihat guru saya yang sepertinya belum mengetahui kertas
dibalik lembar jawaban saya. Tapi ketika saya ingin melanjutkan ulangan tersebut,
tiba-tiba guru saya melihat saya terus dengan tenang. Kerja jantung saya
meningkat. Fix saya gemetaran. Dada deg-degan. Kepala saya turun naik. Melihat
situasi. Ternyata guru saya terus melihat saya. Tapi kali ini ia melihat sambil
senyum-senyum.
“aduh, jangan-jangan aku ketahuan. Gimana ini?”
dalam hati saya ngomong begitu.
Saya nunduk, berusaha tetap tenang. Seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Saya melanjutkan menulis, tapi hanya pura-pura. Dan
diluar dugaan saya, guru saya tersebut jalan dengan santai mendekati saya
sambil senyum-senyum.