Kemaren ketika saya bosan di dalam rumah kemudian
saya pun keluar. Keluar rumah maksudnya, mau duduk-duduk di teras depan. Lalu
saya memihat tanaman tebu di samping kanan rumah saya. Tiba-tiba aja langsung
kepengen makan tebu gitu.
Saya bilang kepada bapak saya yang kebetulan lagi
ada di dekat situ kalo saya lagi pengen makan tebu. Saya bertanya tebu yang
manis yang mana bah? Karena sudah terlalu lama tidak makan tebu, saya jadi lupa
yang mana yang bagus untuk di konsumsi.
Kata bapak saya ambil parangnya dulu di dalam,
terus potong yang agak hitaman. Segera saya ambil parang dan saya langsung ke tempat
tebu itu. Kemudian bapak saya datang dan ngajarin cara ngupas tebunya.
Saya duduk di teras depan rumah sambil makan tebu
kemudian sambil melihat tebu-tebu yang tumbuh sangat banyak itu, saya teringat
kembali ketika dulu saya masih kecil (SD). Teringat bahwa dulu di gang kediaman
saya ini sama sekali tidak ada satupun tebu yang tumbuh.
Sesekali saya main ke rumah teman-teman saya dulu
(baca : Ngebolang). Biasalah anak kecil yang suka ngebolang kemana-mana waktu
kecilnya. Saat itu, saya di ajak teman saya makan tebu yang tumbuh di depan
rumahnya.
Mungkin teman saya inilah yang pertama kali
mengenalkan kepada saya tentang tebu. Sebelumnya, saya tidak tau tebu itu apa.
Terkadang mereka cerita-cerita di sekolah tentang tebu. Mereka menggambarkan
tebu itu enak, manis, dll.
Lalu suatu hari saya main ke rumah mereka, kemudian
saya di ajak makan tebu. Saya suka waktu itu karena tebunya manis banget.
Kemudian saya Tanya kepada mereka, “ini cara nanam tebu kayak gimana?”
“Ya kamu potong aja bagian atasnya yang ada daunnya
itu, terus kamu tancap ke tanah. Nanti kamu bawa pulang aja satu tebu ini.
Nanti aku potongin” kata teman saya waktu itu.
Nah, moment kali ini yang paling saya ingat banget.
Jadi waktu itu, Saya bawa tebu yang besar dan panjang pakai sepeda. Badan saya
ketika itu juga masih kecil. Saya bawa dari rumah teman saya sampai rumah.
Lumayan jauh perjalanan di tambah lagi saya naik sepeda sekitar jam 14.30 WITA
yang masih terik-teriknya matahari.
Selain itu saya melewati jalan besar yang rame
banget. Karena memang cuma jalan itu yang ada. Seandainya ada jalan-jalan tikus
mungkin saya akan lebih milih lewat jalan tikus itu. Tapi karena tidak ada ya
mau gak mau harus lewat jalan besar. Ya
perasaan malu ya pasti ada. Bawa-bawa tebu seperti itu sendiri kan malu (dulu).
Belum selesai sampai disitu, ketika saya sampai di
depan gang rumah saya, ada tetangga-tetangga saya yang sedang ngerumpi yang nyuruh saya stop. Biasa, ibu-ibu jam siang seperti itu kalo sudah ngumpul, pasti
ngerumpi. hehe Kita skip ya ngerumpinya.
Saya di suruh berenti oleh salah satu ibu-ibu yang
ada disitu. “eh, man. Sini dulu. Darimana kamu dapat tebu itu?. wiih besarnya
na tebunya.”
“Dari rumah teman saya tante disana.” Jawab saya
sambil nunjuk ke arah utara. Ngerti aja kan kalo anak kecil di Tanya jalan?
Jawabannya pake tunjukan. “disana” tanpa menunjukkan nama tempat dan jalannya.
“tante minta sedikit ya man tebunya. Segini aja.
*sambil nunjuk dari pergelangan tangan sampai siku.
Tolong garis bawahi ya kata-kata
tadi. Kata yang “sedikit”
Kata “sedikit” disini sedikit takarannya orang
Indonesia ya. Sedikit berarti artinya “banyak”
“Sebentar” berarti artinya “lama”
“Jam 3” berarti artinya “jam 5”
“gampang” berartinya artinya “tidak dikerjakan”
“nanti malam” berarti artinya “besok pagi”
Dan masih banyak lagi yang bagi orang Indonesia mengartikannya dengan arti yang tidak sebenarnya.
Nah, apakah anda tau ketika itu tante tersebut motong
tebu saya seberapa banyak?. Dia motong tebunya persis seperti yang dia bilang
“sedikit” dengan arti yang tidak sebenarnya.
Dia ternyata motong panjang dari jari sampai bahu
orang dewasa. Dan dia ngambil bagian tebu yang manisnya. Saya di sisakan
sedikit di bagian yang tidak manisnya.
Karena saya belum mengerti saat itu yang mana
bagian manis atau tidak. Saya rela aja gitu ngasihkan. Yang saya tau waktu itu
saya di sisakan sedikit. Yang jelas, saya tidak bisa makan banyak bahkan tidak
cukup untuk adek-adek saya dan orang di rumah saya. Padahal maksud saya itu, bawa tebu ke rumah agar saya
bisa berbagi bersama adek-adek saya.
Akhirnya saya tau bahwa rasanya tidak manis. Pas
itu saya sangat marah, kesal, jengkel sama tetangga saya itu. Ngambil seenaknya,
gak pake perasaan dan pengertian. Saya yang bawa jauh-jauh dengan usaha sendiri,
eh dianya yang ngambil enaknya.
Di tengah-tengah saya menggurutu, kemudian bapak
saya menasehati saya. “Yasudah, sabar aja. Orang sabar itu di sayang Allah.
Ikhlas aja sudah. Nanti pasti dapat lagi.
Sini bibitnya Abah tanam.”
Dengar nasehat bapak saya, saya diam. Gak ngegerutu
lagi. Terus saya pergi main.
Satu hari setelah tebu itu di tanam, saya selalu
berharap agar tebu itu segera tumbuh dan banyak menghasilkan tebu lagi. Setiap sore
saya siramin air pohon tebunya itu. Setiap hari saya selalu membayangkan ketika
tebu-tebu itu tumbuh subur dan banyak tebu-tebu tumbuh di halaman.
Tiga bulan kemudian, pucuk di cinta ulampun tiba. Tebu
itu ternayata tumbuh, tapi masih kecil-kecil. Dengan perasaan senang dan saya
harus tetap sabar untuk nungguin itu. Saya siramin air dan terus saya siram
setiap hari.
Kesabaran itu buahnya memang manis. Tebu-tebu yang
dulu di tanam, sekarang sudah banyak dan berlimpah seperti tanaman liar.
Sangking banyaknya di halaman depan rumah saya, sampai-sampai bapak saya tebang
habis tebu-tebu yang ada di halaman rumah saya itu. Walau begitu tebunya tetap tumbuh
terus. Inilah yang dimaksud dengan berlimpah.
Maha suci Allah, yang memberikan rezeki berlipat
ketika kita mau ikhlas berikan 1 aja apa yang kita punya. Kalo saya katakan pake bahasa
2014 ya, tuh tebu sekarang udah tumpah-tumpah, sampe gak kemakan lagi hehe. dan
parahnya lagi sekarang tidak Cuma tumbuh di halaman rumah saya aja, tapi di tanah
oranglain juga tumbuh. Kebetulan di samping kanan rumah saya tanah kosong,
tanahnya tetangga yang mau dijual. Mungkin ada yang berminat untuk membeli,
siapa tau kita bisa tetanggaan. Hehehe
Saya makan tebu itu sambil senyum-senyum ingat masa
kecil saya. Saya masih gak habis fikir, dulu disini (halaman saya, daerah
kediaman saya) tidak ada sama sekali tumbuhan tebu. Eh sekarang justru banyak
sekali tebu-tebu yang tumbuh disini. Saya teringat kembali bagaimana dulu saya
mendapatkan dan membawa bibitnya pulang.
“siapa yang menanam, maka dia yang akan memanen.”
Bagi saya filosofi ini artinya tidak sempit.
Sekarang, siapapun yang mau ambil tebu ya ambil
saja. Itupun kalau seandainya di bagi-bagikan kepada tetangga di daerah saya,
sampai mereka enek juga bahkan sampai mereka sakit gigi sekalipun gara-gara makan
tebu, insyaAlloh tebu-tebu itu tidak akan habis sanking banyaknya tebu yang tumbuh.
Bersamaan dengan nanam tebu itu, bapak saya juga nanam pohon kelapa. Dulu ketika pohon kelapanya masih kecil dan baru pertama
kalinya berbuah, sudah ada tetangga yang minta. Padahal keluarga saya belum
nyobain istilahnya “ngerasain buahnya”
Ternyata sudah diminta. Ya namanya juga tetangga
kan, ya kita berusaha untuk selalu menjaga kerukunan. Masa cuma karena kelapa
entar gak teguran, kan seperti orang yang tidak berpendidikan jadinya. Iya gak?
Kelapa di samping rumah saya ini juga Alhamdulillah
sangat berlimpah, entah sudah berapa kali tetangga minta. Sudah sangat sering
di petik kelapanya, tapi masih terus berbuah. Sekarang pohon kelapanya sudah
tinggi.
Saya sempat kaget kemaren, karena saya baru sadar sudah
lama tidak melihat pohon tersebut. Sekarang sudah tinggi dan buahnya tetap banyak.
Dulu kalo mau petik kelapa masih bisa pake kursi tinggi. Sekarang sudah tidak
bisa lagi. Harus pake tangga.
Subhanallah, Cuma gara-gara kemaren makan tebu
sambil nostalgia sedikit, saya belajar bahwa ketika kita mau berbagi, maka
Allah sebagai pihak yang memberi rezeki akan terus menambah rezeki itu. Tidak
sekedar di tambah namun dibuat berlimpah oleh sang maha.
Jangankan kepada orang yang suka memberi, kepada
orang yang pelit sekalipun bahkan sama dirinya sendiri pelit, Allah masih kasih tuh rezeki kepadanya, masih murah terhadapnya. Apalagi dengan orang yang
murah kepada sesama, Kepada orang yang suka nolong dan meringankan beban
oranglain. Sudah pasti Allah akan menambah terus rezeki padanya
hingga berlipat-lipat. :)
nasihat seorang ayah emang untuk membangun :)
BalasHapusyap, kita harus memberi. jangan jadi orang yang pelit untuk berbagi..
sangat setuju mas :)
Hapus