Jumat, 25 Maret 2016

Mendengarkan Itu Sebuah Keahlian


Saya teringat kembali ketika saya menempuh mata kuliah komunikasi bisnis. Beruntung saya dapat dosen yang tepat. Seorang dosen yang menjunjung tinggi etika, kedisiplinan, dan juga sangat perfectionist.

Mengapa saya katakan beliau tepat mengajar mata kuliah ini? Itu karena menurut saya, untuk mata kuliah seperti ini, harus di ajar oleh seorang dosen yang berkompeten. Saya merasa beruntung, di ajar oleh bu Sarah, karena untuk dosen lain yang mengajar mata kuliah ini, merupakan tipe-tipe dosen yang malas. Yang menurut saya nggak pantas sama sekali jadi dosen.

Soalnya, untuk Komunikasi bisnis, ini tidak hanya sekedar teori, presentasi, dan tugas. Tetapi harus ada pembekalan teknik-teknik dalam berkomunikasi, adanya pemantauan selama satu semester terhadap gaya dan cara bicara kita, membangun rasa percaya diri, memperkuat mental, dan lain-lain.

Nah, yang bisa menerapkan itu hanyalah dosen-dosen yang mengerti tujuan dari mata kuliah yang diajarkannya. Dosen-dosen pemalas, nggak akan mau mengajar seribet itu. Belum lagi dosen yang pemalas, kemudian pelit nilai. Sungguh do’a kami di dengar oleh Tuhan.

Untuk dosen-dosen pemalas yang pelit nilai, tiga kata buat kalian. “Akhirat butuh dosen”



****
Kembali lagi ke masalah komunikasi bisnis. Saat itu, kami membahas tentang “Mendengarkan merupakan sebuah keahlian dalam berkomunikasi.”

Bu Sarah, menunjuk satu per satu mahasiswanya, menyuruh menjelaskan maksud dari pernyataan tersebut. Walaupun suasana tegang dan penuh rasa was-was, tapi kami semua bisa menjawabnya.

Saya deskripsikan. Setiap Bu Sarah ini ngajar, suasana kelas seperti gedung Aula yang luas namun kosong, yang tedengar cuma suara sepatu pantopelnya aja. Tegang dan sunyi. Berani ribut sendiri di kelas beliau, siap-siap di datangi kemudian di hajar dengan segudang pertanyaan lalu dapat omelan dengan suaranya yang kadang melengking. Atau kalau kita tidak bisa menjawab pertanyaannya, kemudian kita ketahuan nggak belajar tadi malam, siap-siap suara sangkakala pecah di kuping.

saya sampai hapal irama langkahnya

Sebenarnya semua itu nggak masalah. Hanya saja, rasa malunya itu lo yang luar biasa kalau sudah di omeli di hadapan teman-teman sekelas. Btw, kalau sama Bu Sarah, bangku kelas di atur menjadi bentuk oval dan beliau berada di tengah dengan leluasa keliling mendatangi kami satu persatu. Jangan pernah berharap bisa ngantuk di kelas seperti ini. Soalnya jantung berdebar-debar terus selama 2,5 jam. Bayangin!

Setelah kami mengutarakan maksud dari pernyataan tersebut, beliau mengatakan bahwa orang-orang selama ini banyak yang hanya berfokus pada bagaimana cara meningkatkan skill berbicaranya di depan publik, atau kasarnya Cuma mengerti bagaimana ngomong. Ngomongnya bagus, keren. Tapi belum tentu skill mendengarkannya juga bagus. Karena, mendengarkan itu ternyata tidak mudah.

Kita ambil contoh seperti orang yang suka nggak nyambung kalau semisal kita bertanya, tetapi jawabannya nggak ‘kena’ dengan apa yang kita tanyakan. Semisal kita bertanya tentang hukum komersial, tetapi dia menjelaskan tentang marketing.
Atau mungkin kita bertanya, “kapan kamu dapat cuti lagi” tapi dia menjawab “aku gak lagi liburan sebanyak ini. Mending uangnya aku pake buat nyicil mobil. ”

Terjawab nggak pertanyaannya? Enggak sama sekali kan?

Saya yakin tidak hanya saya saja yang sering mengalami hal tersebut. Pasti diantara teman-teman kalian juga ada yang seperti itu. Atau mungkin diri kalian sendiri? hehe

Kalau saya biasanya, saya tegasin kembali. “woy, aku nanyanya kapan kamu dapat cuti lagi? jawabannya itu ya besok kek, bulan depan kek, atau tahun depan kek. Aku gak nanya masalah kamu liburan atau nyicil mobil itu.”

Jadi siapapun orang yang suka nggak nyambung dengan pertanyaan saya, ya saya kerasin dikit. Hehe.

Hal itu terjadi, karena bisanya kemampuan mendengarkannya kurang. Bukan berarti tuli. Hanya saja, kurang menyimak dengan baik pertanyaan tersebut.

Bu Sarah juga mengatakan, “kalau anda ingin di dengar, maka dengarlah orang lain. Kalau anda ingin menjadi pembicara yang baik, maka jadilah terlebih dahulu pendengar yang baik.” Saya masih ingat sekali dengan suara dan ekspresi Bu Sarah ketika mengatakan ini.

Siapapun pasti senang, siapapun pasti nyaman ketika kita berbicara, kita di dengar, di perhatikan, di simak dan di respon dengan baik. Tapi nyatanya, kita tidak bisa mengatur permasalahan ini. Karena ternyata, tidak semua orang punya kemampuan mendengar dengan baik.

Saya punya seorang teman, salah satu sifat buruknya adalah dia resek banget. Mungkin kalau ada perlombaan resek-resekan tingkat internasional, saya yakin pasti dia lolos minimal sampai semi final. Demi Allah, reseknya minta ampun.


Kalau ngomong sama dia, kita harus emosi dulu. Atau minimal sampai mood kita rusak dulu, baru dia serius juga nanggapin pembicaraan kita. Saya kasih contoh,

“eh Yog entar habis ini anak-anak jadi nggak sih bakar-bakar ikan?” Tanya saya.

“Ha?”

“Anak-anak itu loh, jadi nggak bakar-bakar ikan?” jawab saya

“siapa?”

“Anak-anak.” jawab saya lagi.

“Kenapa?”

“Bakar-bakar ikan” jawab saya yang udah mulai emosi.

“Apanya?”

“Nggak jadi.” Udah terlanjur emosi.

“okey.” Jawab dia dengan ekspresi seolah nggak punya salah.

1 menit kemudian..

“kenapa tadi thur?”

“nggakpapa” jawab saya

“serius e serius”

“Aku daritadi serius kali. Emang kamunya aja yang brengsek. Coba kamu bedakan kapan serius kapan becanda.” Saya masih emosi, tapi dengan nada bicara santai. Bukan marah-marah.

“hahahaha.. kau baru tau kah? Aku kan orangnya resek.”

“YA EMANG!!.” jawab saya


Tuh kan. Dia malah bangga kalau dirinya resek. Saya sampai emosi. Karena, itu bukan kejadian yang pertama. Tapi sudah berkali-kali dan sering. Selain saya, teman-teman saya yang lain juga sering dia buat kesal.

Atau kadang, di saat kita lagi membahas masalah gadget baru atau soal teknologi. Pasti dia nyahut dengan jawaban yang seolah-olah teknologi baru tersebut jelek di bandingkan apa yang dia punya. Intinya nggak nyambung jawabannya. Setiap dia jawab, pasti kami seketika langsung diam. Jadi males lanjutin obrolannya.

Kadang-kadang juga, ketika kita lagi bicara, dia suka motong-motong pembicaraan dengan kicauan-kicauan resek. Ini jelas-jelas bukan pendengar yang baik.

Terkadang dia suka menyombongkan diri. Saya maklum. Karena keluarganya baru jadi orang kaya dalam 7 tahun terakhir ini. Ya Saya anggap udik aja sih. hehe


Kalau kalian bilang. “temen kayak gitu harus di jauhin thur. Atau paling enggak, kamu harus ngingetin dia”

Masalah ngingatin atau negur, sudah pernah saya lakuin. Saya bilang secara langsung ke dia. Saya kasih tau juga banyak yang nggak suka karena dia suka sombong, resek. Mungkin saya di dengarkan, tapi yang merubah sifatnya bukan saya, tapi dirinya sendiri. Saya cuma bisa negur aja.

Terus saya harus jauhin? Nggak bisa. Walaupun dia reseknya ampun-ampunan, tapi dia juga kadang baik. Karena baiknya dia itu yang kadang-kadang bikin saya mikir, yang kadang-kadang bikin saya dan teman-teman yang lain tertahan untuk menjauhi.

Saya punya satu harapan, semoga aja ada orang lain yang nempeleng dia. Biar bisa jadi pelajaran hidup. Hahaha

***

Kita harus menyeimbangkan, antara bicara dan mendengarkan. Dalam hal komunikasi ini, kita di tuntut untuk lebih peka lagi terhadap lawan bicara.  Kalau dalam dunia bisnis, apabila salah sedikit saja masalah komunikasi ini, bisa jadi negosiasi yang sedang dilakukan, gagal. Atau nggak sesuai dengan ekspektasi.

Aduh, napa jadi bawa-bawa materi kuliah sih. Maafkan. Hehe.

Apa sih yang membuat orang lain nyaman dengan kita? Apa sih yang membuat orang lain merasa lebih dihargai? Yap. Mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Mendengarkan ceritanya. Mendengarkan keluhannya.

Jangan sampai ketika kita berbicara, kita selalu menceritakan. Aku aku dan aku. Tanpa bertanya kembali. “kalo kamu gimana?”

Kita juga harus memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Itu berarti waktunya kita untuk mendengarkan.

Ini penting sekali untuk menjaga keharmonisan sesama teman, kepada pasangan, atau kepada anak. Keegoisan diri yang paling sering menjadi faktor utama, kenapa kita sulit mendengarkan daripada berbicara. Seringnya kita lebih senang “ngomong” daripada “ngedengerin”


Karena pada dasarnya, mendengarkan itu sebuah keahlian. Keahlian terbentuk dari pengualangan-pengulangan yang kita lakukan. Jadi, gimana caranya supaya jadi pendengar yang baik?

Kita cukup mendengarkan dengan cara berpikir kebalikan. Semisal, kalau saya bicara saya ingin di dengarkan. Saya ingin di respon dengan baik. Saya nggak mau di respon dengan lebay. Nah kalau diri kita maunya seperti itu, berarti kita juga harus mendengarkan lawan bicara kita, kita juga harus merespon dengan baik. Terus meresponnya nggak pake lebay.

Cukup dengan berpikir kebalikan, saya yakin kita pasti akan bisa menjadi pendengar yang baik. Lakukan itu berulang-ulang saat kita berinteraksi. Karena dengan pengulangan itu, lama kelamaan akan menjadi kebiasaan. Kalau sudah jadi kebiasaan, pasti akan jadi keahlian. :)

6 komentar:

  1. Suka gengges sendiri ya kalau ada guru/dosen yang merasa so di butuhin atau suka ada yang pelit banget sama nilai. Duh pengen gue coret-coret tuh mukanya pake pulpen wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku punya 3 warna pulpen nih. merah, biru, itam. kamu tinggal pilih mau yang mana wid. haha

      Hapus
  2. Wah. Keren nih tema postingannya. Semoga orang-orang yang maunya cuma ngomong tapi nggak mau dengerin orang ngomong, jadi tersadarkan ya.

    Berpikir kebalikan. Iya bener banget, aku setuju. Aku suka dengerin orang cerita. Dan aku juga suka bercerita. Tapi giliran kalau orangnya selalu nyombongin diri, atau ngerasa paling sengsara sendiri, aku jadi males. Trus sama orang yang kayak temen kamu, aku juga males sih. Cuma males aja, nggak bisa jauhin. Iya sama deh kayak kamu, Thur. Hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Thanks cha. Semoga yah banyak yang tersadarkan. Intinya jangan egois, tapi berpikir kebalikan :)

      Hapus
  3. Wah iya nih mas saya bahkan sering melihat dan negobrol langsung dengan orang yang susah mendengarkan apa yang diomongin saya, wah kalau di gituin rasanya tuh sakit pengen jitak kepalanya sih sebenarnya tapi saya selalu nahan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yang penting kita jangan sampai seperti itu sama orang lain :)

      Terima kasih Nurul sudah berkunjung ^^

      Hapus

Terimakasih sudah membaca. Tolong tinggalkan komentarnya. Karena dengan komentar kalian, blog ini akan semakin bernyawa hehe. Salam, untuk para blogger se-Indonesia. Dari Malang (@akhi_fathur)