Sabtu, 05 September 2015

Merindukan Tamparan Batin


Suatu ketika saat saya masih duduk dikelas 3 SMP beberapa tahun yang lalu, ada moment yang masih saya ingat jelas sampai hari ini. Hari itu saya berpikir untuk berlaku curang. Niat ini sudah saya rancang dari malam-malam sebelumnya.

Saya sudah tahu bahwa hari x akan ada ulangan harian. Namun jauh-jauh hari saya sudah meniatkan untuk curang dengan membuat contekan. Semua tahu bahwa guru yang satu ini punya “mata saringgan”. Satu sekolah sih bilang begitu. Saya percaya nggak percaya.

Malam harinya teman-teman saya yang lain sibuk belajar untuk besok. Saya juga sibuk buat contekan untuk besok. Kederangan sama tapi beda. Malam itu saya sudah merasa bahwa esok sayalah yang paling juara dikelas.

Menjelang jam 11 pagi, teman-teman saya satu kelas semakin sibuk baca buku. Sibuk. Sibuk sekali. Sunyi. Nggak ada yang ribut. Semua belajar. Cuma saya aja yang nggak buka buku seolah sang jawara sambil senyum-senyum kemenangan.

Saya sama sekali nggak ada baca-baca buku seperti yang lainnya. Saya justru ganggu teman-teman saya yang lagi belajar. “sudahlah nggak usah belajar”. Saya bilang begitu.

Ulangan dimulai. Guru saya menyebutkan soal demi soal. Dan setiap soal yang dibacakan saya senyum-senyum “vegeta”. Merdeka. Hati saya merdeka. Semua soal itu jawabannya ada dicontekan saya.

Nomor satu selesai. Nomor dua selesai. Keadaan masih aja aman. Saya melihat guru saya yang sepertinya belum mengetahui kertas dibalik lembar jawaban saya. Tapi ketika saya ingin melanjutkan ulangan tersebut, tiba-tiba guru saya melihat saya terus dengan tenang. Kerja jantung saya meningkat. Fix saya gemetaran. Dada deg-degan. Kepala saya turun naik. Melihat situasi. Ternyata guru saya terus melihat saya. Tapi kali ini ia melihat sambil senyum-senyum.

“aduh, jangan-jangan aku ketahuan. Gimana ini?” dalam hati saya ngomong begitu.

Saya nunduk, berusaha tetap tenang. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Saya melanjutkan menulis, tapi hanya pura-pura. Dan diluar dugaan saya, guru saya tersebut jalan dengan santai mendekati saya sambil senyum-senyum.

Pertama-tama ia di depan meja saya. Saya nggak bisa ngapa-ngapain. Diam. Pura-pura mikir. Kemudian ke samping, kemudian berdiri dibelakang saya sambil menyilakan tangannya.

Sekitar 1 menit dibelakang saya diam tanpa kata, akhirnya ia bersuara

“Rahman, itu kertas apa dibalik jawabanmu?.”

Saya diam. Saya sudah nggak bisa berkata-kata lagi. Mau ngeles percuma. Karena saya sudah kalah.

Lembar jawaban saya diambil dan guru saya bilang

“nanti pulangan temui ibu dikantor.”

Saya betul-betul malu dikelas. Saat itu saya merasa diri saya seperti pecundang. Harga diri saya jatuh. Satu kelas melihat saya, satu kelas tau kecurangan saya.

Hati saya masih dirasuki perasaan takut, khawatir, takut kenapa-kenapa. Karena itu kali pertamanya saya dipanggil ke kantor karena kasus.

“Assalamualaikum bu?” kata saya.

“masuk.” jawab guru saya yang sudah siap mau ceramahi saya

“kamu kenapa tadi bawa contekan kayak begitu? Biasanya kamu tiap ulangan nggak pernah curang. Kamu juga nggak pernah remedial dipelajaran ibu. Kenapa kamu kayak gitu sekarang?”

“Saya nggak belajar bu.” Saya jawab sambil nunduk karena malu.

Kantor yang tadinya sepi, tiba-tiba satu persatu guru berdatangan. Mereka Masuk kantor dan sayapun langsung jadi pusat perhatian.

“ini kenapa bu si Rahman di panggil kesini?” kata salah satu guru

“ini lo bu, masa ulangan buat contekan. Saya itu dari awal kali anak-anak ngerjakan soal, sudah tau saya kalo dia sepertinya ngelihat contekan. Saya biarkan dulu dia sampai beberapa menit. biar dia keterusan bu. Saya biarin aja. Akhirnya saya datangin, saya ambil dan suruh dia kesini. Ini jelas remedi bu. Oiya, poin buat anak-anak yang nyontek berapa bu ya?” guru saya ini sambil senyum-senyum nggak enak kepada guru-guru yang lain.

Saya tambah malu. Nggak bisa ngapa-ngapain deh pokoknya. Cuma bisa diam aja.

“memang bu. Rahman sekarang ini saya perhatikan mulai nakal. Beda sekali sama waktu dia kelas dua. Sekarang mulai berani sudah bu. Sudah mulai nakal-nakal. Nggak usah kasih lulus aja bu.”

Saya tambah takut.

Sahut wali kelas saya. “iya bu. Si Fathur ini padahal dulu baik-baik aja lo. Pendiam. Nggak banyak gaya. Sekarang. Mulai sok-sokan. Mulai gaya-gayaan. Mulai mau nakal-nakal. Hukum aja bu.”

*Ketika para kompor bertemu ya begitulah jadinya.

Makin malu. makin banyak guru yang mulai bersuara.

“Rahman, coba kamu jangan ikut-ikutan kayak teman-temanmu itu. Kamu jangan terpengaruh sama ini, ini, dan ini. Mereka banyak kasus. Nggak mau nurutlah, kelahi lah. Pas ulangan nggak bisa. Kamu nggak usahlah kayak begitu.” Kata guru saya tadi sambil menceramahi.”

“Iya bu.” Saya menjawab sambil merasakan penyesalan yang sangat dalam.

“yasudah, sekarang kamu janji sama ibu nggak ngulangi lagi.”

“iya bu. Saya janji bu nggak bakal begitu lagi. Saya minta maaf bu.”

“lembar jawabanmu ini ibu buang. Kamu ibu anggap remedial. Besok pagi jam 9 tolong temui ibu disini lagi. Kamu ujian lisan sama ibu. Bisa ya?”

“bisa bu.” Tetap nunduk

“Belajar nanti malam. Jangan aneh-aneh lagi.”

“iya bu.”

“yasudah, cepat kamu kemesjid sana. Sudah komat itu.”

“iya bu. Makasih bu ya. Saya minta maaf. Assalamuaikum.”

Keluar dari kantor mata saya berair. Badan saya terasa panas. Antara malu dan semangat untuk membuktikan campur aduk. Saya serius. Bisikan hati mengebu-gebu. Saya pasang target. Ulangan berikutnya saya dapat nilai sempurna.

Sampai dirumah, biasanya saya langsung nonton TV. Tapi kali ini saya langsung belajar untuk ujian lisan besok. Saya belajar sampai sore. Malamnya setelah isya, saya lanjut belajar lagi.

Keesokan harinya. Saya ujian lisan. Saya pikir saya akan diberi pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Tapi ternyata saya malah disuruh menceritakan semua yang saya pelajari. Saya jelaskan materi tersebut dan akhirnya saya lulus.

Beberapa minggu kemudian, ulangan harian datang lagi. Tetap dipelajaran yang sama dengan guru yang sama juga. Memang, guru yang satu ini paling rajin ngadain ulangan harian.

Untuk ulangan kali ini sudah saya niatkan untuk membuktikan. Untuk membayar rasa malu waktu itu. Saya jadi rajin sekali untuk belajar pelajaran ini. Saya sudah siap ulangan dua hari sebelum ulangan kali ini.

Ulangan dimulai, saya sangat semangat sekali mengerjakan soalnya. Ulangan essay itu butuh kecepatan juga untuk menulis. Maka dari itu saya seperti orang yang terburu-buru saat mengerjakannya. Semua isi di dalam kepala keluar begitu aja. karena buat saya kali ini bukan hanya sekedar ulangan, tapi itu pembuktian.

Ternyata perasaan seperti itu benar-benar mempengaruhi hormon-hormon di dalam tubuh. 20 menit pertama saya kumpulkan lembar jawabannya saya yang hampir full satu lembar kertas. Saya hanya ingin mengalahkan anak yang rangking satu dikelas saya tersebut.

Guru saya langsung menilai jawabannya saya hari itu juga. Mengoreksi sebentar sambil menuliskan nilai dilembar jawaban saya. Kemudian lanjut lagi mengawasi sambil senyum-senyum. Sebenarnya hari itu juga nilai ulangan saya sudah ada. Tapi berdasarkan kebiasaan aturannya, nilai dibagikan dua hari setelah ulangan.

Dua hari kemudian hasil ulangan dibagikan. Dan ternyata saya dapat nilai sempurna. Dikelas hanya 4 orang saja yang lulus. Sisanya remedial. Kebetulan ini adalah bab tersulit untuk pelajaran ini. Makanya hampir satu kelas remedial. Teman saya yang rangking 1 dan 2 tiba-tiba langsung judes kepada saya. Tiba-tiba seperti marah kepada saya karena nilai saya jauh lebih tinggi dibandingkan dia. 

Yah, mungkin saat itu sirik aja. Soalnya 2 tahun saya sekelas sama dia, nggak pernah satu pun nilai saya bisa melampui dia. Hari itu amazing banget buat saya. Saya nggak nyangka juga.

Setelah kejadian itu, saya tidak pernah lagi mendapatkan energi seperti itu. Banyak hal yang sudah saya lewati. Ada yang meremehkan, ada yang meragukan, ada yang tidak percaya, bahkan ada yang sampai menyinggung perasaan. Tapi, sampai hari ini juga, kesemuanya itu belum juga menampar batin saya. Sehingga kesungguh-sungguhan dan keseriusan yang pernah saya rasakan dimasa lalu saya, belum juga kembali.

Saya pikir saya terlalu banyak bercanda selama ini. Atau mungkin karena cara pikir saya yang semakin kompleks? Saya nggak tau.

Saya sudah merindukan perasaan seperti itu. Saya berharap perasaan itu datang lagi. Saya berharap perasaan itu selalu ada tanpa harus suatu hal yang menampar batin saya terlebih dahulu. Karena saya yakin, bagi diri saya itulah pemacu semangat dan suntikan energi paling luar biasa. 

2 komentar:

  1. Ah... post ini bikin ngingetin sesuatu dah... pengalaman SD juga.. hahaha

    tapi emang sih, kadang kita emang mesti di cambuk batin dulu baru bisa ada semangat untuk improve terus... coba ada cara buat dapatin semangat itu tanpa tamparan batin dulu... karena biasanya tamparan batin itu bikin trauma... gua suka semangatnya tapi ngga suka tamparannya... wkwkwk

    BalasHapus

Terimakasih sudah membaca. Tolong tinggalkan komentarnya. Karena dengan komentar kalian, blog ini akan semakin bernyawa hehe. Salam, untuk para blogger se-Indonesia. Dari Malang (@akhi_fathur)